Sabtu, 26 Desember 2009

27 Des - 1Sam 1:20-22.24-28; 1Yoh 3: 1-2.21-24; Luk 2:41-52

"Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia"

Pesta Keluarga Kudus: 1Sam 1:20-22.24-28; 1Yoh 3: 1-2.21-24; Luk 2:41-52

"Saya berjanji untuk saling mengasihi baik dalam untung maupun malang, sehat maupun sakit sampai mati', demikian kurang lebih janji calon suami-isteri ketika saling menerimakan Sakramen Perkawinan, mengawali hidup baru, hidup berkeluarga sebagai suami isteri' Mereka juga berjanji untuk mendidik anak-anak yang akan dianugerahkan oleh Tuhan kepada mereka secara katolik/kristiani. Pada saat yang berbahagia macam itu pada umumnya masing-masing, baik mempelai laki-laki maupun perempuan, saling menghayati pasangan hidupnya sebagai anugerah Tuhan, kado dari Tuhan. Jika mereka, suami-isteri baru, ini setia menghayati janji tersebut maka keluarga mereka pasti akan berbahagia, damai sejahtera dan anak-anak yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada mereka akan meneladan Yesus, "makin bertambah besar dan bertambah hikmatnya dan besarnya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia". Maka pada pesta Keluarga Kudus, Yesus, Maria dan Yusuf, hari ini saya mengajak para bapak-ibu atau suami-isteri untuk mawas diri: sejauh mana setia pada janji perkawinan sampai kini? Salah satu tanda bahwa suami-isteri atau bapak-ibu setia pada janji perkawinan adalah 'buah'nya, yaitu anak-anak yang dianugerahkan Tuhan tumbuh berkembang menjadi pribadi dewasa yang cerdas beriman atau cerdas spiritual.

 

"Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia" (Luk 2: 52)   

 

Keluarga merupakan dasar hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maupun beriman/ menggereja; keluarga bahagia maka masyarakat juga bahagia dst.. Pengalaman dan pencermatan kami: para tokoh masyarakat maupun beragama yang sungguh hidup dan bertindak melayani demi kepentingan atau kesejahteraan umum pada umumnya berasal dari keluarga-keluarga yang baik, bahagia, dikasihi oleh Allah maupun sesamanya. Hidup berkeluarga sangat ditentukan oleh cara hidup suami-isteri: apakah baik suami maupun isteri makin dikasihi oleh Allah dan sesamanya? Orang dikasihi oleh Allah dan sesamanya karena ia juga senantiasa mengasihi Allah dan sesamanya.

 

Hidup dan segala sesuatu yang menyertainya berarti yang kita miliki, nikmati dan kuasai sampai kini adalah anugerah Allah atau kasih Allah, yang kita terima melalui mereka yang telah berbuat baik kepada kita. Masing-masing dari kita telah menerima kasih begitu melimpah ruah sehingga dapat hidup, tumbuh dan berkembang sebagaimana adanya saat ini, maka tanggapan kita tidak lain adalah berterimakasih dan bersyukur. Terima kasih dan syukur ini hendaknya tidak berhenti di bibir atau dalam wacana saja, tetapi pertama-tama dan terutama harus menjadi nyata dalam tindakan atau perilaku, yaitu hidup saling mengasihi dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan segenap kekuatan/tubuh. Di dalam kasih juga tersirat secara inklusif keutamaan-keutamaan seperti "sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri dan tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak bersukacita karena ketidakadilan tetapi karena kebenaran, menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu" (lih 1Kor 3:4-7)        

 

"Makin dikasihi oleh manusia" hendaknya menjadi pedoman atau acuan hidup berkeluarga, jangan hanya dikagumi atau dipuji saja. "Dikasihi"  berarti siap sedia dan rela untuk didatangi, dinasihati, ditegor, dipuji, diberi, di…dst..; dengan kata lain orang yang siap sedia dan rela untuk dikasihi senantiasa rendah hati. "Rendah hati adalah sikap dan perilaku yang tidak suka menonjolkan diri, yaitu dengan menenggang perasaan orang lain. Meskipun pada kenyataannya lebih dari orang lain, ia dapat menahan diri untuk tidak menonjolkan diri" (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997, hal 24). Ingat dan renungkan bahwa kita baru saja mengenangkan Pesta Natal, kenangan akan kelahiran Penyelamat Dunia, "Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib" (Fil 2:5-8)  Kerendahan hati dibutuhkan bagi siapapun yang mendambakan agar dirinya semakin berhikmat dan dengan demikian semakin dikasihi oleh Allah dan sesama manusia. Marilah kita renungkan sapaan Yohanes dalam suratnya di bawah ini.   

 

"Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau hati kita tidak menuduh kita, maka kita mempunyai keberanian percaya untuk mendekati Allah, dan apa saja yang kita minta, kita memperolehnya dari pada-Nya, karena kita menuruti segala perintah-Nya dan berbuat apa yang berkenan kepada-Nya. Dan inilah perintah-Nya itu: supaya kita percaya akan nama Yesus Kristus, Anak-Nya, dan supaya kita saling mengasihi sesuai dengan perintah yang diberikan Kristus kepada kita" (1Yoh 3:21-23)

 

"Saling mengasihi sesuai dengan perintah yang diberikan Kristus kepada kita"  inilah yang hendaknya kita renungkan dan hayati. Perintah Kristus dalam hal kasih antara lain "mengasihi dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan segenap tubuh", sehingga menjadi sehati, sejiwa, seakal budi dan setubuh (bersetubuh). Perintah kasih ini rasanya dengan mudah dapat diindrai atau dilihat dalam diri suami-isteri yang saling mengasihi, yang antara lain secara konkret ada langkah bersetubuh atau hubungan seks (persetubuhan). Hubungan seks atau persetubuhan merupakan perwujudan saling mengasihi dan ada kemungkinan menghasilkan buah, yaitu 'janin'/anak, sebagai buah kasih atau yang terkasih. Dalam relasi antara suami-isteri yang saling mengasihi kiranya ada keberanian percaya untuk saling mendekati yang terkasih/pasangannya, karena pasangannya merupakan anugerah Allah.

 

Perintah untuk saling mengasihi terarah kepada kita semua sebagai orang beriman. Kasih mungkin mudah dikatakan namun sering sulit dilaksanakan, mengingat dan memperhatikan masih maraknya aneka pertentangan, permusuhan, tawuran, saling membenci, dst.. Yang sering menjadi penyebab adalah aneka perbedaan yang ada, entah beda selera, agama, pendapat, pengalaman, suku, dst.. Pesta Keluarga Kudus hari ini mengingatkan saya untuk mengajak anda sekalian perihal perbedaan yang sering menimbulkan masalah tersebut. Ingat bahwa laki-laki dan perempuan berbeda satu sama lain tetapi saling tertarik, memikat, mendekat dan tergerak untuk bersahabat dan bersatu. Dengan kata lain apa yang berbeda menjadi daya tarik, daya pikat dan daya pesona untuk lebih mengenal, mendekat dan bersahabat, itulah misteri ilahi, karya agung Allah. Maka dengan ini kami mengajak kita semua: marilah kita sikapi dan hayati apa yang berbeda di antara kita sebagai daya tarik, daya pikat dan daya pesona untuk saling mengenal dan bersahabat. Hendaknya perbedaan yang ada tidak menjadi motivasi atau dorongan untuk saling menuduh, merendahkan atau melecehkan. Perihal perbedaan kiranya baik saya angkat kembali di sini: dalam ilmu phisika/listrik unsur minus (-) dan plus (+) bertemu menjadi sinar terang yang fungsional dan membahagiakan, sebaliknya plus bertemu plus atau minus bertemu minus terjadilah musibah atau kebakaran yang mencelakakan. Kebenaran ilmiah ini hendaknya menjadi inspirasi juga dalam hal saling mengasihi antar kita yang berbeda satu sama lain ini. 

 

"Betapa disenangi tempat kediaman-Mu, ya TUHAN semesta alam! Jiwaku hancur karena merindukan pelataran-pelataran TUHAN; hatiku dan dagingku bersorak-sorai kepada Allah yang hidup. Berbahagialah orang-orang yang diam di rumah-Mu, yang terus-menerus memuji-muji Engkau.  Berbahagialah manusia yang kekuatannya di dalam Engkau, yang berhasrat mengadakan ziarah!" (Mzm 84:2-3.5-6)

 

Jakarta, 27 Desember 2009