Rabu, 30 Juni 2010

1Juli - Am 7:10-17; Mat 9:1-4

"Mengapa kamu memikirkan hal-hal yang jahat di dalam hatimu?"

(Am 7:10-17; Mat 9:1-4)

 

"Sesudah itu naiklah Yesus ke dalam perahu lalu menyeberang. Kemudian sampailah Ia ke kota-Nya sendiri. Maka dibawa oranglah kepada-Nya seorang lumpuh yang terbaring di tempat tidurnya. Ketika Yesus melihat iman mereka, berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu: "Percayalah, hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni." Maka berkatalah beberapa orang ahli Taurat dalam hatinya: "Ia menghujat Allah." Tetapi Yesus mengetahui pikiran mereka, lalu berkata: "Mengapa kamu memikirkan hal-hal yang jahat di dalam hatimu?" (Mat 9:1-4), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

 

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

·   Orang-orang ahli Taurat pada masa kini antara lain para ahli kitab suci, ahli hukum/aturan, dst… lebih-lebih para ahli hukum. Mengapa? Perhatikan saja dalam berbagai macam persidangan atau rapat dimana para ahli hukum senantiasa berusaha melihat dan mengangkat kekurangan, kejahatan dan kelemahan orang lain guna menjatuhkan orang lain dan memenangkan dirinya sendiri. Apalagi ahli hukum yang telah memperoleh pesan sponsor alias diberi uang pelicin atau sogokan pasti berusaha mati-matian, bekerja keras untuk berpikiran jahat terhadap yang lain. Apa yang terjadi di dalam persidangan memang saling menyalahkan, dan dengan demikian memang sungguh melelahkan serta memboroskan waktu, tenaga dan dana/uang. Kami harapkan di dalam hidup sehari-hari gaya hidup dan kerja di persidangan tersebut tidak terjadi, dimana orang senantiasa berpikiran jahat di dalam hatinya. Sabda Yesus hari ini kiranya baik kita renungkan dan refleksikan secara mendalam, artinya kita tanggapi dengan sepenuh hati. Marilah kita buang pikiran jahat di dalam hati kita masing-masing serta senantiasa berusaha berpikiran baik di dalam hati kita masing-masing. Orang yang berpikiran jahat berarti hidup bersama setan atau roh jahat, dan dengan demikian memang menjadi ahli kejahatan, sedangkan orang yang berpikiran baik berarti hidup bersama dengan Roh Kudus atau Tuhan, dan dengan demikian menjadi ahli atau pakar kebaikan, senang berbuat baik kepada sesamanya. Sebagai orang beriman kita semua dipanggil untuk senantiasa saling berbuat baik satu sama lain, dan hal itu antara lain dapat dimulai dan didasari oleh hati yang senantiasa berpikiran baik. Kami percaya di dalam diri kita masing-masing lebih banyak apa yang baik daripada yang jahat, maka marilah kita saling mengangkat dan mewujudkan apa yang baik di dalam diri kita masing-masing.

·   "Aku harus mempersembahkan korban keselamatan, dan pada hari ini telah kubayar nazarku itu. Itulah sebabnya aku keluar menyongsong engkau, untuk mencari engkau dan sekarang kudapatkan engkau. Telah kubentangkan permadani di atas tempat tidurku, kain lenan beraneka warna dari Mesir. Pembaringanku telah kutaburi dengan mur, gaharu dan kayu manis" (Am 7:14-17), demikian ungkapan seorang perempuan sundal alias pelacur. Saya kira seorang pelacur yang baik senantiasa berusaha dengan keras membahagiakan dan menyenangkan tamu-tamunya atau mereka yang mendatanginya; ia akan memberi pelayanan dalam bentuk apapun kepada para tamunya. Maka dalam sebuah seminar yang saya hadiri ada seorang pembicara (ibu) yang dalam ceramahnya ada selingan dan saran :"Para ibu atau isteri hendaknya belajar dari para pelacur bagaimana cara membahagiakan dan menyenangkan suaminya". Tentu saja bukan saran atau nasihat bagi para ibu untuk melacurkan diri, melainkan gaya dan sikap hidup membahagiakan dan menyenangkan orang lain. Rasanya kita semua mendambakan dan merindukan hidup bahagia dan senang, maka marilah kita dengan segala upaya serta bantuan rahmat Tuhan berusaha saling membahagiakan dan menyenangkan satu sama lain dimanapun dan kapanpun serta dalam kondisi dan situasi apapun. Ingat bagi kita yang beriman kepada Yesus Kristus, Warta Gembira dan Pewarta Gembira, berarti kita dipanggil untuk meneladanNya dengan menjadi pawarta gembira. Kehadiran  dan sepak terjang kita dimanapun dan kapanpun hendaknya menggembirakan dan menyenangkan, sehingga memberdayakan orang lain untuk semakin beriman, mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan atau Penyelenggaraan Ilahi. Tidak ada alasan untuk tidak gembira bagi yang beriman kepada Tuhan.

 

"Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman. Titah TUHAN itu tepat, menyukakan hati; perintah TUHAN itu murni, membuat mata bercahaya. Takut akan TUHAN itu suci, tetap ada untuk selamanya; hukum-hukum TUHAN itu benar, adil semuanya, lebih indah dari pada emas, bahkan dari pada banyak emas tua; dan lebih manis dari pada madu, bahkan dari pada madu tetesan dari sarang lebah" (Mzm 19:8-11)..

       

Jakarta, 1 Juli 2010


Senin, 28 Juni 2010

30 Juni - Am 5:14-15.21-24; Mat 8:28-34

"Suruhlah kami pindah ke dalam kawanan babi itu."

(Am 5:14-15.21-24; Mat 8:28-34)

 

"Setibanya di seberang, yaitu di daerah orang Gadara, datanglah dari pekuburan dua orang yang kerasukan setan menemui Yesus. Mereka sangat berbahaya, sehingga tidak seorang pun yang berani melalui jalan itu. Dan mereka itu pun berteriak, katanya: "Apa urusan-Mu dengan kami, hai Anak Allah? Adakah Engkau ke mari untuk menyiksa kami sebelum waktunya?" Tidak jauh dari mereka itu sejumlah besar babi sedang mencari makan. Maka setan-setan itu meminta kepada-Nya, katanya: "Jika Engkau mengusir kami, suruhlah kami pindah ke dalam kawanan babi itu." Yesus berkata kepada mereka: "Pergilah!" Lalu keluarlah mereka dan masuk ke dalam babi-babi itu. Maka terjunlah seluruh kawanan babi itu dari tepi jurang ke dalam danau dan mati di dalam air. Maka larilah penjaga-penjaga babi itu dan setibanya di kota, diceriterakannyalah segala sesuatu, juga tentang orang-orang yang kerasukan setan itu. Maka keluarlah seluruh kota mendapatkan Yesus dan setelah mereka berjumpa dengan Dia, mereka pun mendesak, supaya Ia meninggalkan daerah mereka" (Mat 8:28-34), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

 

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

·   Para penjahat pada umumnya ketakutan ketika berjumpa dengan para petugas keamanan, maka sering terjadi perubahan ruman muka atau gerak-gerik, bahkan ketika terjebak mereka sering berteriak lebih dulu dengan gertakan keras guna membela diri. Begitulah juga yang terjadi dengan setan yang bertemu dengan Yesus dan berteriak "Apa urusanMu dengan kami, hai Anak Allah? Adakah Engkau ke mari untuk menyiksa kami sebelum waktunya?...Jika Engkau mengusir kami, suruhlah kami pindah ke dalam kawanan babi itu". Apa yang diminta dikabulkan oleh Yesus dan setan-setan itupun masuk ke dalam babi-babi. Dua hal kiranya dapat saya angkat dari kisah ini. Pertama-tama adalah bahwa siapapun yang sedang berbuat jahat pada umumnya merasa diri tidak aman dan terancam terus menerus, serta senantiasa berusaha melindungi diri melalui berbagai cara. Semakin melindungi diri berarti semakin menyendiri dan juga semakin terancam, maka kepada para penjahat kami harapkan bertobat. Kedua perihal babi: rasanya jika rekan-rekan umat Islam menyikapi babi sebagai yang haram dan dengan demikian tidak boleh dikomsumsi merupakan kebiasaan yang sudah lama terjadi di Timur Tengah, sehingga para penginjil pun menggunakan 'babi' sebagai tempat berlindung setan. Mungkin karena babi mengandung lemak yang tinggi dan dengan demikian berbahaya untuk kesehatan tubuh (tentu saja jika mengkonsumsi berlebihan), maka diperlakukan sebagai tempat setan. Bercermin dari ini saya ingatkan: marilah kita mengkonsumsi aneka makanan dan minuman yang membuat tubuh kita sehat dan segar bugar.

·   "Segala jalan orang terbuka di depan mata TUHAN, dan segala langkah orang diawasi-Nya. Orang fasik tertangkap dalam kejahatannya, dan terjerat dalam tali dosanya sendiri. Ia mati, karena tidak menerima didikan dan karena kebodohannya yang besar ia tersesat" (Am 5:21-23). Apa yang kita lakukan atau katakan, bahkan yang sedang kita pikirkan dan dambakan diketahui oleh Tuhan, tiada yang tersembunyi sedikitpun perihal diri kita di 'mata Tuhan'. Maka sebagai orang beriman kami mengajak anda sekalian untuk senantiasa jujur terhadap diri sendiri. Jika kita dapat setia jujur terhadap diri sendiri dalam kondisi dan situasi apapun dan dimanapun, maka dengan mudah kita bertindak jujur terhadap orang lain, sesama dan lingkungan hidup kita. "Jujur adalah sikap dan perilaku yang tidak suka berbohong dan berbuat curang, berkata-kata benar apa adanya dan berani mengakui kesalahan, serta rela berkorban untuk kebenaran" (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997, hal 17). Didik dan biasakan anak-anak anda di dalam keluarga perihal kejujuran ini sedini mungkin serta jauhkan aneka macam bentuk kebohongan dan kecurangan; orangtua hendaknya menjadi teladan dalam hal kejujuran. Kami berharap juga kepada para pemimpin, atasan, pejabat dan petinggi di tingkat dan bidang kehidupan bersama dimanapun untuk menjadi teladan dalam hal kejujuran. Semoga para penegak hukum seperti polisi, hakim, jaksa, dll..juga dapat menjadi teladan dalam hal kejujuran; demikian juga para anggota DPR, entah di tingkat pusat maupun daerah. Hidup dan bertindak jujur di Negara kita masa kini sungguh up to date dan mendesak untuk dihayati dan disebarluaskan mengingat dan memperhatikan aneka kebohongan dan korupsi masih marak di sana-sini, di berbagai bidang kehidupan bersama.

 

"Dengarlah, hai umat-Ku, Aku hendak berfirman, hai Israel, Aku hendak bersaksi terhadap kamu: Akulah Allah, Allahmu! Bukan karena korban sembelihanmu Aku menghukum engkau; bukankah korban bakaranmu tetap ada di hadapan-Ku? Tidak usah Aku mengambil lembu dari rumahmu atau kambing jantan dari kandangmu, sebab punya-Kulah segala binatang hutan, dan beribu-ribu hewan di gunung. Aku kenal segala burung di udara, dan apa yang bergerak di padang adalah dalam kuasa-Ku" (Mzm 50: 7-11).

           

Jakarta, 30 Juni 2010


29 Juni - Kis 12:1-11; 2Tim 4:6-8.17-18; Mat 16:13-19

"Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya"

HR St Petrus dan St Paulus : Kis 12:1-11; 2Tim 4:6-8.17-18; Mat 16:13-19


 

"Uskup Gereja Roma, yang mewarisi secara tetap  tugas yang secara istimewa diberikan kepada Petrus, yang pertama di antara para rasul, dan harus diteruskan kepada para penggantinya, adalah kepala Dewan Para Uskup, Wakil Kristus dan Gembala Gereja universal di dunia ini, yang karenanya berdasarkan tugasnya mempunyai kuasa jabatan, tertinggi, penuh, langsung dan universal dalam Gereja yang selalu dapat dijalankannya dengan bebas" (KHK kan 331)

"Hidup yang dibaktikan dengan pengikraran nasihat-nasihat injili adalah bentuk kehidupan tetap di mana orang beriman, dengan mengikuti Kristus secara lebih dekat atas dorongan Roh Kudus, dipersembahkan secara utuh kepada Allah yang paling dicintai, agara demi kehormatan bagiNya dan demi pembangunan Gereja serta keselamatan dunia mereka dilengkapi alasan baru dan khusus, mengejar kesempurnaan cintakasih dalam pelayanan Kerajaan Allah, dan sebagai tanda unggul dalam Gereja mewartakan kemuliaan surgawi" (KHK kan 573 $ 1).

Kutipan dari Kitab Hukum Kanonik di atas ini kiranya dapat menjadi inspirasi dalam rangka merayakan St.Petrus dan St.Paulus, paus pertama dan rasul agung/ulung: Petrus yang duduk di tahta kepausan dan Paulus yang berkeliling dunia untuk mewartakan kabar baik kepada segala bangsa.

 

"Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga."(Mat 16:19)

Kutipan di atas ini adalah sabda Yesus kepada Petrus, paus pertama. Paus sebagai "Wakil Kristus dan Gembala Gereja universal di dunia ini" mengemban 'kunci Kerajaan Sorga', maka sungguh memiliki tugas mahaberat dan mulia. Meskipun Paus mempunyai kuasa jabatan tertinggi, Yang Mulia senantiasa menyatakan diri sebagai 'servus servorum' (hamba dari para hamba). Kepemimpinan di dalam Gereja memang kepemimpinan partisipatif, dimana sang pemimpin senantiasa mendengarkan yang dipimpin dengan rendah hati dan sepenuh hati agar pelayanannya sesuai kebutuhan yang dipimpin dalam rangka mengusahakan keselamatan jiwa. Maka meskipun memiliki kebebasan penuh, Paus tak pernah menggunakan kebebasan seenaknya, menurut keinginan pribadi, apalagi Paus adalah 'kepala Dewan para Uskup', yang berarti harus menghayati jabatan atau fungsinya dalam kolegialitas. Para Uskup juga memiliki kuasa tertinggi di wilayah keuskupannya, maka para Uskup mengambil bagian dalam jabatan kepemimpinan Paus, penerus.tahta St.Petrus. 

 

"Tuhan telah mendampingi aku dan menguatkan aku, supaya dengan perantaraanku Injil diberitakan dengan sepenuhnya dan semua orang bukan Yahudi mendengarkannya"

(2Tim 4:17)      

 

Kutipan di atas ini adalah pengalaman atau kesaksian Paulus yang disampaikan kepada Timotius dan kita semua. Paulus tergerak untuk meneladan Yesus 'yang berkeliling dari desa ke desa, kota ke kota' untuk mewartakan Injil atau Warta Gembira. Paulus tanpa kenal lelah mewartakan Warta Gembira ke seluruh dunia, tanpa takut dan gentar menghadapi aneka tantangan, masalah, ancaman serta kesulitan. Paulus percaya sepenuhnya bahwa "Tuhan telah mendampingi aku dan menguatkan aku", maka bersama dan bersatu dengan Tuhan tiada ketakutan dan kegentaran sedikitpun. Apa yang dikerjakan oleh Paulus ini dalam perjalanan sejarah Gereja sampai kini dilakukan oleh aneka lembaga hidup bakti, biarawan-biarawati, sesuai dengan charisma atau spiritualitas pendiri mereka masing-masing. Maka terjadilah keaneka-ragaman pelayanan pastoral di dalam mewartakan Warta Gembira.

 

Konggregasi Suci untuk Lembaga Hidup Bakti dan Institut Sekuler bersama dengan Konggregasi Suci untuk Para Uskup : "DIRECTIVES FOR THE MUTUAL RELATIONS BETWEEN BISHOPS AND RELIGIOUS IN THE CHURCH" (1978)

 

Di dalam sejarah Gereja pernah terjadi ketegangan antara uskup dan pemimpin lembaga hidup bakti setempat atau pastor paroki dan paguyuban gerejani seperti  Gerakan Kharismatik, Legio Mariae, Pemuda Katolik, PMKRI, dll.. Konggregasi Suci untuk Lembaga Hidup Bakti bersama Konggregasi Suci untuk Para Uskup pada tahun 1978 menerbitkan Arahan untuk Hubungan Timbal Balik ("Mutuae Relationis") antara para uskup dan lembaga hidup bakti. Isi  dokumen 'Mutuae Relationis' ini kiranya baik sekali kita hayati dalam rangka merayakan pesta St.Petrus dan St.Paulus, dua pribadi yang berbeda satu sama lain namun bekerjasama dengan baik.

 

Kerjasama kiranya merupakan keutamaan yang mendesak dan up to date untuk kita hayati dan sebarluaskan pada masa kini, mengingat dan memperhatikan semakin maraknya permusuhan, pertentangan, cekcok dst.. dalam kehidupan dan kerja bersama. Bekerjasama berarti saling memberi dan menerima, melayani, mendengarkan, memperhatikan, mengasihi dst.. , sebagaimana terjadi dalam umat Gereja Purba, dimana "semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah."(Kis 2:44-47)     

 

Cara hidup umat Gereja Purba tersebut kiranya dapat menjadi inspirasi atau teladan bagi kita semua pada masa kini dalam rangka memperkuat dan mengusahakan kerjasama baik dalam hidup bersama maupun kerja. Sikap mental kerjasama hemat saya sedini mungkin hendaknya dibiasakan atau dididikkan pada anak-anak di dalam keluarga serta kemudian diperdalam dan diperkembangkan di sekolah-sekolah. Kerjasama di tingkat paroki maupun keuskupan hendaknya juga diperkuat dan diperdalam terus menerus. Salah satu usaha memperkuat dan membangun kerjama antara lain dimulai dengan menghayati apa yang sama di antara kita secara mendalam bersama-sama, sehingga apa yang berbeda di antara kita akan fungsional memperteguh atau memperkuat kerjasama. Dengan kata lain hendaknya jangan membesar-besarkan perbedaan yang ada. Perbedaan yang ada di antara kita bersifat fungsional agar pelayanan pastoral Gereja dapat menjangkau semua kalangan atau tingkat kehidupan yang ada.  Marilah kita belajar bekerjasama dari anggota-anggota tubuh kita, yang bekerjasama dengan baik, dimana masing-masing anggota di tempat masing-masing dan fungsional sepenuhnya bagi kebutuhan seluruh tubuh. Tidak ada iri hati di antara anggota tubuh kita.

 

"Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku. Karena TUHAN jiwaku bermegah; biarlah orang-orang yang rendah hati mendengarnya dan bersukacita.Muliakanlah TUHAN bersama-sama dengan aku, marilah kita bersama-sama memasyhurkan nama-Nya!Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku, dan melepaskan aku dari segala kegentaranku.Tujukanlah pandanganmu kepada-Nya, maka mukamu akan berseri-seri, dan tidak akan malu tersipu-sipu. Orang yang tertindas ini berseru, dan TUHAN mendengar; Ia menyelamatkan dia dari segala kesesakannya." (Mzm 34:2-7)

 

Jakarta, 29 Juni 2010


Minggu, 27 Juni 2010

28 Juni - Am 2:6-10.13-16; Mat 8:18-22

"Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka"

(Am 2:6-10.13-16; Mat 8:18-22)

 

"Ketika Yesus melihat orang banyak mengelilingi-Nya, Ia menyuruh bertolak ke seberang. Lalu datanglah seorang ahli Taurat dan berkata kepada-Nya: "Guru, aku akan mengikut Engkau, ke mana saja Engkau pergi." Yesus berkata kepadanya: "Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya." Seorang lain, yaitu salah seorang murid-Nya, berkata kepada-Nya: "Tuhan, izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan ayahku." Tetapi Yesus berkata kepadanya: "Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka."(Mat 8:18-22), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

 

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

·   Mengikuti Tuhan atau beriman memang harus total tanpa syarat atau catatan kaki sedikitpun, tidak ada tawar menawar. "Ikutilah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka", demikian jawaban Yesus atas orang yang mau mengikuti Dia dengan minta izin dahulu untuk menguburkan ayahnya, yang sebenarnya hanya mau mengundurkan diri saja. Orang mati di sini kiranya juga menggambarkan orang yang tidak hidup bergairah, tidak ingin tumbuh berkembang lebih lanjut, maju terus mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman alias 'berhenti di tempat'/'mandheg'. Mengikuti Tuhan atau hidup beriman berarti harus siap berubah dan berkembang. Ingatlah dan hayatilah bahwa yang abadi di dunia ini adalah perubahan dan perkembangan, maka siapapun yang tak bersedia berubah atau berkembang pasti akan segera mati, terlindas arus perkembangan dan perubahan. Sel-sel anggota tubuh kita sendiri terus tumbuh berkembang dan berubah, maka tidak siap sedia tumbuh dan berubah berarti mengingkari diri sendiri. Memang kita diharapkan tidak asal tumbuh berkembang dan berubah, melainkan tumbuh berkembang dan berubah ke arah persahabatan mesra dengan Tuhan maupun sesama manusia, sehingga semakin dikasihi oleh Tuhan dan sesama manusia. Untuk itu kita memang harus berani meninggalkan kehendak dan keinginan diri pribadi dan hanya mau mengikuti kehendak dan perintah Tuhan, yang antara lain dapat kita temukan dalam diri sesama yang berkehendak baik. Maka marilah kita dengarkan dan ikuti kehendak baik saudara-saudari kita, dengan kata lain marilah kita saling membagikan dan menerima kehendak baik  serta kemudian kita sinerjikan untuk tumbuh berkembang dan berubah bersama-sama.

·   "Karena TUHANlah yang memberikan hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian.Ia menyediakan pertolongan bagi orang yang jujur, menjadi perisai bagi orang yang tidak bercela lakunya, sambil menjaga jalan keadilan, dan memelihara jalan orang-orang-Nya yang setia" (Am 2:6-8).  Jujur, tak bercela, adil dan setia itulah keutamaan-keutamaan yang harus kita hayati dan sebarluaskan. "Jujur adalah sikap dan perilaku yang tidak suka berbohong dan berbuat curang, berkata-kata benar apa adanya dan berani mengakui kesalahan, serta rela berkorban untuk kebenaran…adil adalah sikap dan perilaku yang tidak berat sebelah dalam mempertimbangkan keputusan, tidak memihak dan menggunakan standar yang sama bagi semua pihak…setia adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan keterikatan dan kepedulian atas perjanjian yang telah dibuat" (lihat: Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997, hal 17, 24, 25). Siapapun yang bersikap dan berperilaku jujur, adil dan setia pasti akan memperoleh pertolongan dari Tuhan melalui orang-orang yang baik di sekitarnya, dan dengan demikian ia pasti tetap jujur, adil dan setia dalam hal apapun, kapanpun dan dimanapun. Kami harapkan anak-anak sedini mungkin dibiasakan atau dididik dalam hal jujur, adil dan setia di dalam keluarga dan tentu saja dengan teladan konkret dari para orangtua, serta kemudian ditindak-lanjuti di sekolah-sekolah sebagai bantuan bagi para orangtua dalam mendidik anak-anak mereka. Hendaknya ada kerjasama antara orangtua dan sekolah di dalam mendidik dan membina anak-anak, maka baiklah secara periodik sering diselenggarakan pertemuan dan dialog antar para orangtua dan staf kependidikan di sekolah dalam pendampingan dan pendidikan anak-anak. Ingatlah dan hayatilah bahwa anak-anak adalah buah atau korban kerjasama, dan hanya dapat tumbuh berkembang atau berubah ke arah yang baik dalam kerjasama atau kebersamaan juga.

 

"Perhatikanlah ini, hai kamu yang melupakan Allah; supaya jangan Aku menerkam, dan tidak ada yang melepaskan. Siapa yang mempersembahkan syukur sebagai korban, ia memuliakan Aku; siapa yang jujur jalannya, keselamatan yang dari Allah akan Kuperlihatkan kepadanya."

(Mzm 50:22-23)

Jakarta, 28 Juni 2010


Jumat, 25 Juni 2010

27 Juni - 1Raj 19:16b.19-21; Gal 5:1.13-18; Luk 9:51-62

"Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah."

Mg Biasa XIII: 1Raj 19:16b.19-21; Gal 5:1.13-18; Luk 9:51-62

Dalam acara seminar atau lokakarya perihal 'kebudayaan dan pendidikan' ada seorang pembicara menyampaikan sindirian sebagai berikut: "Salah satu cermin budaya suku/bangsa antara lain ada pada tarian. Tarian Jawa/kasunanan Solo atau kasultanan Yogya adalah 'bedoyo', di mana sang penari nampak maju satu langkah dan mundur dua langkah. Bukankah hal ini mencerminkan sementara orang Jawa yang bersikap mental 'nrimo' (=menerima) dan kurang bergairah untuk melangkah maju dengan bereksplorasi atau mencoba-coba hal baru?".  Sindiran ini rasanya erat kaitannya dengan Warta Gembira hari ini, dimana dikisahkan orang yang ingin mengikuti Yesus, tetapi ketika Yesus mengatakan bahwa "Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.", orang tersebut mengundurkan diri dengan alasan yang nampak logis, namun yang benar adalah orang tersebut tidak siap untuk melangkah ke depan bersama Yesus karena takut terhadap aneka tantangan, hambatan atau masalah. Mungkinkah kita juga termasuk orang yang takut melangkah ke depan karena aneka macam tantangan, hambatan atau masalah yang harus dihadapi? Marilah kita mawas diri!.

 

"Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah."(Luk 9:62)

 

Ada dua alasan yang ditampilkan dalam warta gembira hari ini perihal orang-orang yang 'menoleh ke belakang', yaitu:

 

1) "Izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan bapaku." (Luk 9:59)

Minta izin tidak bekerja atau tidak belajar dengan alasan 'layat'  pada umumnya dengan mudah diizinkan serta jarang ditolak. Maka sering ada pekerja atau pelajar tertentu, yang malas dan ingin membolos, minta izin dengan alasan hendak melayat saudaranya atau kenalannya. "Izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan bapaku"  merupakan alasan licik bagi orang malas untuk maju, tumbuh dan berkembang; alasan yang tak mungkin dibicarakan atau didiskusikan lagi. Orang yang demikian ini pada umumnya hanya ingin mengikuti dan mempertahankan pendapat atau ide atau cita-citanya sendiri samibl berkata 'pokoknya ini'. 

 

2) "Aku akan mengikut Engkau, Tuhan, tetapi izinkanlah aku pamitan dahulu dengan keluargaku."(Luk 9:61)

"Pamitan dahulu dengan keluargaku"  berarti orang begitu dikuasai oleh  atau terikat pada semangat/ mental orangtua, dan dengan demikian tidak sedia untuk hidup dan bertindak sesuai dengan charisma atau spiritualitas atau visi hidup baru dimana yang bersangkutan mulai menapaki atau menghayatinya. Sebagai contoh: sudah menjadi suami-isteri tetapi baik sang suami maupun sang isteri hanya mau mengikuti kehendak dan keinginan sendiri sebagaimana telah ditanamkan dan diterima dari orangtua masing-masing, menjadi anggota lembaga hidup bakti (biarawan atau birawati) tidak sedia hidup dan bertindak sesuai dengan charisma pendiri melainkan hanya mau mengikuti keinginan atau kemauan sendiri, dst… Dengan kata lain orang masih kekanak-kanakan alias belum dewasa.

 

Kepada mereka yang memiliki sikap mental sebagaimana saya angkat di atas ini kami harapkan untuk bertobat atau memperbaharui diri, dan marilah mengikuti Tuhan dengan penuh kesetiaan dan ketaatan. Memang untuk mengikuti Tuhan kita harus berani meneladan Yesus dengan hidup sebagaimana Ia gambarkan ini, "serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya". Mengikuti Tuhan berarti siap sedia dengan jiwa besar dan hati rela berkorban meninggalkan segala keinginan dan kehendak sendiri serta kemudian mengikuti perintahNya atau meneladan cara hidup Yesus, yang kaya tetapi memiskinkan DiriNya, yang besar dan mulia tetapi merendahkan diri. Dengan kata lain mengikuti Tuhan berarti melaksanakan atau menghayati aneka aturan dan tatanan yang terkait dengan panggilan dan tugas pengutusan kita masing-masing: hidup dan bertindak sesuai dengan janji yang pernah kita ikrarkan atau spiritualitas pendiri organisasi.

 

"Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih" (Gal 5:13) 

 

"Layanilah seorang akan yang lain oleh kasih", inilah yang baik menjadi permenungan atau refleksi kita, sebagai orang beriman yang telah 'dipanggil untuk merdeka'. Melayani berarti membahagiakan dan mensejahterakan, pelayan yang baik senantiasa tidak pernah mengecewakan yang dilayani. Pelayan yang baik senantiasa dijiwai oleh kasih, yaitu "sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri dan tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran, menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu" (1Kor 13:4-7)     

 

"Tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain"  inilah yang kiranya baik kita hayati dan sebarluaskan pada masa kini, mengingat dan memperhatikan masih maraknya aneka bentuk kemarahan di sana-sini yang menimbulkan korban manusia maupun harta benda. Marah berarti menghendaki yang dimarahi tidak ada; bentuk kemarahan yang paling lembut adalah mengeluh dan yang paling kasar adalah membunuh/memusnahkan. Orang yang mudah mengeluh hemat saya orang yang sedang menderita sakit, entah sakit hati, sakit jiwa, sakit akal budi maupun sakit tubuh. Makanan, minuman, cuaca, situasi dst. dapat menjadi bahan mengeluh. Pendek kata apa yang tidak sesuai dengan selera atau keinginan pribadi dapat menjadi sumber mengeluh atau marah. 

 

Orang yang suka menyimpan kesalahan orang lain pada umumnya juga mudah marah, karena isi otak atau pikirannya adalah kesalahan-kesalahan orang lain maupun kesalahan diri sendiri. Ingat dan sadari bahwa apa yang akan kita lakukan pada hari ini tergantung apa yang sedang ada dalam pikiran atau otak kita, maka jika yang ada di dalam otak atau pikiran kita adalah kesalahan-kesalahan dengan sendirinya kita akan mudah marah karena tidak pernah puas atau nikmat dalam hidup ini. Orang yang mudah menyimpan kesalahan-kesalahan memang tak mungkin dapat nikmat dan bahagia atau sejahtera di dalam hidup di dunia masa kini. Orang yang senang menyimpan kesalahan-kesalahan pada umumnya juga perfektionis, yang dikehendaki sempurna adanya, padahal di dunia ini banyak hal yang tidak sempurna. Mereka juga kurang melayani dan lebih senang untuk dilayani.     

 

Kita semua dipanggil untuk merdeka, dan marilah kita hayati atau fungsikan kemerdekaan kita untuk hidup saling melayani satu sama lain dalam dan oleh kasih.

 

"Aku memuji TUHAN, yang telah memberi nasihat kepadaku, ya, pada waktu malam hati nuraniku mengajari aku. Aku senantiasa memandang kepada TUHAN; karena Ia berdiri di sebelah kananku, aku tidak goyah. Sebab itu hatiku bersukacita dan jiwaku bersorak-sorak, bahkan tubuhku akan diam dengan tenteram; sebab Engkau tidak menyerahkan aku ke dunia orang mati, dan tidak membiarkan Orang Kudus-Mu melihat kebinasaan. Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan; di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa"

 (Mzm 16:7-11)

Jakarta, 27 Juni 2010

 


Kamis, 24 Juni 2010

26 Juni - Rat 2:2.10-14.18-19; Mat 8:5-17

"Pulanglah dan jadilah kepadamu seperti yang engkau percaya."

(Rat 2:2.10-14.18-19; Mat 8:5-17)

 

"Ketika Yesus masuk ke Kapernaum, datanglah seorang perwira mendapatkan Dia dan memohon kepada-Nya: "Tuan, hambaku terbaring di rumah karena sakit lumpuh dan ia sangat menderita." Yesus berkata kepadanya: "Aku akan datang menyembuhkannya." Tetapi jawab perwira itu kepada-Nya: "Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku, katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh. Sebab aku sendiri seorang bawahan, dan di bawahku ada pula prajurit. Jika aku berkata kepada salah seorang prajurit itu: Pergi!, maka ia pergi, dan kepada seorang lagi: Datang!, maka ia datang, ataupun kepada hambaku: Kerjakanlah ini!, maka ia mengerjakannya." Setelah Yesus mendengar hal itu, heranlah Ia dan berkata kepada mereka yang mengikuti-Nya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai pada seorang pun di antara orang Israel. Aku berkata kepadamu: Banyak orang akan datang dari Timur dan Barat dan duduk makan bersama-sama dengan Abraham, Ishak dan Yakub di dalam Kerajaan Sorga, sedangkan anak-anak Kerajaan itu akan dicampakkan ke dalam kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi." Lalu Yesus berkata kepada perwira itu: "Pulanglah dan jadilah kepadamu seperti yang engkau percaya." Maka pada saat itu juga sembuhlah hambanya." (Mat 8:5-13), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

 

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

·   Orang-orang Israel atau Yahudi memang kurang atau tidak percaya kepada Yesus, sebagai Mesias, sebagaimana dijanjikan oleh Allah kepada mereka, maka ketika ada seorang perwira Israel datang kepada Yesus untuk mohon penyembuhan bagi hambanya, Ia bersabda: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai seorangpun di antara orang Israel". Iman sang perwira tersebut menjadi kenyataan alias terwujud, apa yang diharapkan menjadi kenyataan. Pengalaman sang perwira ini kiranya baik menjadi bahan permenungan bagi kita semua umat beriman. Beriman berarti mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan/Penyelenggaraan Ilahi, dan dengan demikian cara hidup dan cara bertindak dikuasai oleh Tuhan alias sesuai dengan kehendak Tuhan. Maka marilah kita hidup dan bertindak sesuai dengan kehendak Tuhan, jika kita mendambakan apa yang kita cita-citakan menjadi kenyataan alias terwujud. Kepada mereka yang sedang menderita sakit kami harapkan menyadari dan menghayati kelemahan atau kerapuhan dan kemudian mempersembahkan diri kepada Tuhan melalui saudara-saudari yang berbaik hati membantu penyembuhan. Kepada para mahasiswa atau pelajar kami harapkan sungguh belajar setiap hari sehingga sukses dalam belajar, demikian juga kepada para pekerja kami harapkan sungguh bekerja agar terampil bekerja. Kepada para suami-isteri yang mendambakan setia saling mengasihi sampai mati kami harapkan dalam suka atau duka, sehat maupun sakit tetap saling mengasihi.

·   "Berteriaklah kepada Tuhan dengan nyaring, hai, puteri Sion, cucurkanlah air mata bagaikan sungai siang dan malam; janganlah kauberikan dirimu istirahat, janganlah matamu tenang! Bangunlah, mengeranglah pada malam hari, pada permulaan giliran jaga malam; curahkanlah isi hatimu bagaikan air di hadapan Tuhan, angkatlah tanganmu kepada-Nya demi hidup anak-anakmu, yang jatuh pingsan karena lapar di ujung-ujung jalan!" (Rat 2:18-19). Kutipan ini kiranya baik menjadi acuan atau panduan kita dalam beriman  atau beragama. Sebagai orang beriman atau beragama kita diharapkan tidak pernah melupakan hidup doa, entah doa pribadi ataupun doa bersama. Berdoa berarti membuka hati sepenuhnya kepada Tuhan seraya mohon rahmat yang kita butuhkan sesuai dengan panggilan dan tugas pengutusan kita masing-masing. "Curahkanlah isi hatimu bagaikan air mata di hadapan Tuhan" , inilah nasihat atau saran yang selayaknya kita hayati atau lakukan. Apa isi hati anda, janganlah dikubur di dalam hati, melainkan curahkanlah, persembahkanlah kepada Tuhan. Persembahkan dambaan, kerinduan, harapan dan cita-cita anda kepada Tuhan, serta percayalah bahwa Tuhan akan menganugerahkan apa yang terbaik demi keselamatan jiwa kita. Anugerah yang terbaik dari Tuhan tidak lain adalah Roh Kudus, sehingga kita yang menerima anugerah Roh Kudus akan hidup dan bertindak oleh atau karena  Roh Kudus dan dengan demikian mengahasilkan buah-buah Roh Kudus seperti " kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri" (Gal 5:22-23). Buah-buah Roh inilah yang kita butuhkan dalam hidup dan kerja kita sehari-hari agar kita dapat hidup damai sejahtera dan bahagia selama-lamanya.

 

"Mengapa, ya Allah, Kaubuang kami untuk seterusnya? Mengapa menyala murka-Mu terhadap kambing domba gembalaan-Mu? Ingatlah akan umat-Mu yang telah Kauperoleh pada zaman purbakala, yang Kautebus menjadi bangsa milik-Mu sendiri! Ingatlah akan gunung Sion yang Engkau diami. Ringankanlah langkah-Mu ke tempat yang rusak terus-menerus; segala-galanya telah dimusnahkan musuh di tempat kudus.Lawan-lawan-Mu mengaum di tempat pertemuan-Mu dan telah mendirikan panji-panji mereka sebagai tanda."

(Mzm 74:1-4)

Jakarta, 26 Juni 2010


25 Apr - 2Raj 25:1-12; Mat 8:1-4

"Aku mau jadilah engkau tahir."

(2Raj 25:1-12; Mat 8:1-4)

 

"Setelah Yesus turun dari bukit, orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia. Maka datanglah seorang yang sakit kusta kepada-Nya, lalu sujud menyembah Dia dan berkata: "Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku." Lalu Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata: "Aku mau, jadilah engkau tahir." Seketika itu juga tahirlah orang itu dari pada kustanya. Lalu Yesus berkata kepadanya: "Ingatlah, jangan engkau memberitahukan hal ini kepada siapa pun, tetapi pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah persembahan yang diperintahkan Musa, sebagai bukti bagi mereka." (Mat 8:1-4)

 

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

·   Penyembuhan pasien atau orang sakit di rumah sakit hemat saya ada tiga faktor yang menentukan, yaitu: dokter dengan obat-obatnya, perawatan dan semangat pasien. Dokter dan perawatan merupakan bantuan, dan hemat saya semangat pasien sangat menentukan, sebagaimana dalam warta gembira hari ini ada seorang yang sakit kusta datang kepada Yesus serta mohon untuk disembuhkan "Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku". Maka dengan ini kami berharap kepada siapapun yang sedang menderita sakit, entah sakit hati, sakit jiwa, sakit akal budi atau sakit tubuh, entah sedang dirawat di rumah sakit atau tinggal di rumah: hendaknya memiliki semangat untuk disembuhkan. Sembuh dari penyakit erat kaitannya dengan iman, penyerahan diri secara total kepada Tuhan melalui mereka yang dapat membantu penyembuhan. Siap sedia dengan penuh gairah untuk disembuhkan itulah yang kami harapkan bagi mereka yang sedang menderita sakit serta menghendaki untuk sembuh. Dan ketika telah sembuh hendaknya hidup dan bertindak sesuai dengan aturan kesehatan: makan dan minum sesuai pedoman hidup sehat, istirahat atau tidur memadai dan teratur, berolahraga secara teratur, dst.. "Persembahkan persembahan yang diperintahkan Musa sebagai bukti bagi mereka", itulah pesan Yesus kepada orang yang sakit kusta yang telah disembuhkan. "Serahkan diri anda kepada aneka aturan dan tatanan hidup sehat" itulah saran atau nasihat bagi anda yang telah disembuhkan dari penyakit. Kepada mereka yang sehat kami harapkan dapat menjadi teladan dalam hal mentaati atau melaksanakan aturan atau tatanan hidup sehat, serta dengan rendah hati memberitakan pengalaman kepada sesamanya.

·   "Ia membakar rumah TUHAN, rumah raja dan semua rumah di Yerusalem; semua rumah orang-orang besar dibakarnya dengan api. Tembok sekeliling kota Yerusalem dirobohkan oleh semua tentara Kasdim yang ada bersama-sama dengan kepala pasukan pengawal itu. Sisa-sisa rakyat yang masih tinggal di kota itu dan para pembelot yang menyeberang ke pihak raja Babel dan sisa-sisa khalayak ramai diangkut ke dalam pembuangan oleh Nebuzaradan, kepala pasukan pengawal itu. Hanya beberapa orang miskin dari negeri itu ditinggalkan oleh kepala pasukan pengawal itu untuk menjadi tukang-tukang kebun anggur dan peladang-peladang" (2Raj 25:9-12). Kehancuran kota Yerusalem terjadi karena warganya meninggalkan perintah-perintah Tuhan. Apa yang terjadi dengan kehancuran kota Yerusalem kiranya dapat menjadi pelajaran bagi kita semua. Hendaknya sebagai warga masyarakat atau kota, desa tertentu kita setia pada perintah Tuhan, yang antara lain dapat kita temukan dalam aneka aturan atau tatanan hidup bersama, jika kita menghendaki hidup damai sejahtera. Berbagai kekacauan, kesemrawutan dan ketidak-nyamanan hidup bersama terjadi karena kebejatan moral warga, antara lain hidup dan bertindak seenaknya sendiri, hanya mengikuti nafsu dan keinginan sendiri alias egois. Maka dengan ini kami berharap kepada mereka yang bersikap mental egois untuk bertobat atau memperbaharui diri, kemudian hidup sosial, 'to be man or woman with/for others'. Kami berharap agar anak-anak sedini mungkin dibina dalam hal hidup sosial, antara lain dengan teladan konkret dari para orangtua. Pertama-tama hendaknya dibina hidup sosial di dalam keluarga, antar anggota keluarga, kakak-adik, dan kemudian keluarga terhadap tetangga atau warga satu rukun tetangga/RT. Pengalaman hidup sosial sehari-hari di dalam keluarga akan menjadi modal atau dasar kuat untuk hidup sosial di masyarakat luas. Di sekolah-sekolah hendaknya juga dibina atau dididik hidup sosial bagi para peserta didik, dan tentu saja juga disertai teladan konkret dari para pendidik/guru.

 

"Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita mengingat Sion. Pada pohon-pohon gandarusa di tempat itu kita menggantungkan kecapi kita. Sebab di sanalah orang-orang yang menawan kita meminta kepada kita memperdengarkan nyanyian, dan orang-orang yang menyiksa kita meminta nyanyian sukacita: "Nyanyikanlah bagi kami nyanyian dari Sion!" Bagaimanakah kita menyanyikan nyanyian TUHAN di negeri asing?" (Mzm 137:1-4)

 

Jakarta, 25 Juni 2010


Rabu, 23 Juni 2010

24 Juni - Yes 48:1-6; Kis 13:22-26; Luk 1:57-66.80

"Menjadi apakah anak ini nanti?"


HR KELAHIRAN ST YOHANES PEMBAPTIS: Yes 48:1-6; Kis 13:22-26; Luk 1:57-66.80

 

Kelahiran anak pertama bagi para orangtua, lebih-lebih bagi sang ibu kiranya merupakan kebahagiaan luar biasa. Ketika anak masih berada di dalam rahim atau kandungan pada umumnya calon orangtua/ suam-isteri telah merencanakan nama anak yang akan dilahirkan. Di balik nama yang akan diberikan kepada anak tersirat dambaan atau harapan pada anak yang bersangkutan, agar anak kelak menjadi pribadi yang baik dan berbudi pekerti luhur. Elisabeth, yang lanjut usia, melahirkan seorang anak laki-laki dan menurut tradisi anak yang dilahirkan tersebut ditandai atau diberi nama seperti ayahnya, Zakharia. Namun Zakharia menerima wahyu dari Allah agar anaknya diberi nama 'Yohanes', dan dengan demikian menyimpang dari tradisi. Maka sahabat dan kenalannya pun  heran atas pemberian nama Yohanes tersebut, namun, karena mereka percaya kepada Allah, mereka tidak melehkannya melainkan bertanya-tanya "Menjadi apakah anak ini nanti?".  Pertanyaan yang demikian mungkin sering muncul dalam diri kita masing-masing ketika melihat seorang anak yang istimewa, atau para orangtua terhadap anaknya. Maka baiklah dalam rangka mengenangkan Kelahiran St.Yohanes Pemabaptis hari ini saya mengajak kita semua untuk mawas diri perihal nama-nama yang kita pakai atau dikenakan pada diri kita masing-masing, entah yang kita terima dari orangtua atau lembaga dimana kita berada di dalamnya.

 

"Menjadi apakah anak ini nanti?" Sebab tangan Tuhan menyertai dia." (Luk 1:66)

    

Hidup kita adalah milik Tuhan, yang dinugerahkan kepada kita, maka selayaknya kita senantiasa disertai oleh Tuhan atau berada dalam Tuhan jika mendambakan hidup bahagia dan damai sejati. Orangtua yang telah mengandung, melahirkan dan membesarkan kita dengan cintakasih yang sarat dengan pengorbanan kiranya mendambakan agar kita tumbuh berkembang sebagai pribadi yang cerdas beriman, maka baiklah melalui cara.hidup dan cara bertindak kita dimanapun dan kapanpun berusaha untuk menjadi pribadi cerdas beriman. Hendaknya cara hidup dan cara bertindak kita tidak memalukan keluarga atau orangtua, dan marilah kita hayati motto/perihabasa Jawa ini, yaitu "mikul dhuwur, mendhem jero wong tuo" = 'mengangkat tinggi-tinggi dan mengubur dalam-dalam orangtua', yang berarti memuliakan orangtua.

 

"Adapun anak itu bertambah besar dan makin kuat rohnya" (Luk 1:80), demikian apa yang terjadi dalam perkembangan Yohanes Pembaptis. .  Kita semua, sebagai anak,  kiranya bertambah besar tubuh kita, tambah umur, tambah pengalaman, namun apakah juga 'makin kuat roh kita'.  Makin kuat roh berarti semangat hidup, belajar atau bekerja semakin kuat, karena kita hidup dalam dan oleh Roh Kudus, dan cara hidup atau bertindak kita menghasilkan buah-buah Roh, seperti "kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri" (Gal 5:22-23)

 

Kami berharap agar anak-anak sedini mungkin di dalam keluarga dibina perihal keutamaan-keutamaan sebagai buah Roh tersebut di atas dan kemudian diperkembangkan di sekolah-sekolah maupun masyarakat. Hendaknya di dalam usaha pendidikan, entah di dalam keluarga maupun sekolah, pertama-tama dan terutama diusahakan agar anak-anak tumbuh berkembang menjadi pribadi yang baik dan berbudi pekerti luhur daripada pandai, alias lebih diutamakan agar anak-anak memiliki kecerdasan spiritual daripada kecerdasan intelektual. Memang mendidik dan membina anak agar menjadi baik atau cerdas spiritual lebih sulit daripada menjadi pandai atau cerdas intelektual. Kecerdasan spiritual merupakan dasar dan modal untuk mengusahakan kecerdasan-kecerdasan lainnya, seperti kecerdasan intelektual, kecerdasan sosial, kecerdasan emosional dan kecerdasan  phisik.

 

"Menjelang kedatangan-Nya Yohanes telah menyerukan kepada seluruh bangsa Israel supaya mereka bertobat dan memberi diri dibaptis.Dan ketika Yohanes hampir selesai menunaikan tugasnya, ia berkata: Aku bukanlah Dia yang kamu sangka, tetapi Ia akan datang kemudian dari padaku. Membuka kasut dari kaki-Nya pun aku tidak layak." (Kis 13:24-25)

Yohanes Pembaptis adalah 'bentara Yesus Kristus', orang yang mempersiapkan jalan bagi kedatangan Yesus Kristus. Rasanya kita semua orang beriman juga dipanggil untuk menjadi 'bentara kedatangan Allah', artinya cara hidup dan cara bertindak kita mengundang dan memotivasi siapapun untuk semakin beriman atau bersembah-sujud kepada Allah sepenuhnya di dalam hidup sehari-hari. Maka baiklah kita meneladan sikap Yohanes Pembaptis yang menyatakan diri bahwa 'membuka kasut dari kaki-Nya pun aku tidak layak', yang berarti senantiasa bersikap rendah hati.

 

"Rendah hati adalah sikap dan perilaku yang tidak suka menonjolkan dan menomorsatukan diri, yaitu dengan menenggang perasaan orang lain. Meskipun pada kenyataannya lebih dari orang lain, ia dapat menahan diri untuk tidak menonjolkan dirinya" (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka-Jakarta 1997, hal 24). Kami berharap kepada para orangtua, pejabat, pemimpin atau atasan dalam bidang kehidupan atau pelayanan dimanapun dapat menjadi teladan dalam hal rendah hati bagi anak-anak atau yang dipimpin dan dilayani.  Kami juga berharap kepada siapapun: hendaknya semakin kaya, semakin pandai/cerdas, semakin tambah usia/tua, semakin tinggi jabatan atau kedudukan dst.. juga semakin rendah hati, sebagaimana pepatah mengatakan "bulir/butir padi semakin berisi semakin menunduk" . Ingatlah dan hayati bahwa kekayaan, kepandaian/kecerdasan, kedudukan/ jabatan, usia panjang dst…adalah anugerah Tuhan yang kita terima melalui siapapun yang telah berbuat baik kepada kita; maka jika semakin kaya, pandai/cerdas, berkedudukan, tua, dst.. tidak rendah hati berarti tidak beriman.

 

"Terlalu sedikit bagimu hanya untuk menjadi hamba-Ku, untuk menegakkan suku-suku Yakub dan untuk mengembalikan orang-orang Israel yang masih terpelihara. Tetapi Aku akan membuat engkau menjadi terang bagi bangsa-bangsa supaya keselamatan yang dari pada-Ku sampai ke ujung bumi." (Yes 49:6), demikian kesaksian nabi Yesaya. Sebagai orang beriman kita juga memiliki dimensi kenabian, dan dengan demikian kita juga dipanggil untuk 'menjadi terang bagi bangsa-bangsa supaya keselamatan yang datang dari padaKu sampai ke ujung bumi'.  Cara hidup dan cara bertindak kita dimanapun dan kapan pun hendaknya menjadi terang bagi sesama atau saudara-saudari kita. Hendaknya kita dapat menjadi fasilitator bagi siapapun untuk semakin beriman, bersembah-sujud seutuhnya kepada Tuhan. Kehadiran dan sepak terjang kita dimanapun dan kapan pun hendaknya memperjelas jati diri sesama, dan dengan demikian mereka dapat menikmati panggilan mereka masing-masing. Marilah meneladan St.Fransiskus Assisi, yang antara lain semangat hidupnya tercermin dalam doa 'Jadikanlah aku pembawa damai', yang antara lain berisi "dimana ada kegelapan kubawa terang". Hendaknya kehadiran dan sepak terjang kita membuat yang amburadul menjadi teratur, yang ngawur menjadi tepat sasaran, dst..

 

"TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku; Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh. Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalanku Kaumaklumi" (Mzm 139:1-3)

     

Jakarta, 24 Juni 2010


Selasa, 22 Juni 2010

23 Juni - 2Raj 22:8-13; 23:1-3; Mat 7:15-20)

"Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka"

(2Raj 22:8-13; 23:1-3; Mat 7:15-20)

 

"Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas. Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka. Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri atau buah ara dari rumput duri? Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik. Dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api. Jadi dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka" (Mat 7:15-20), demikian kutipan Warta Gembira hari ini

 

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

·   Pada masa kini memang berkembang aneka macam bentuk pemalsuan atau penyamaran dengan tujuan untuk mencari keuntungan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Pemalsuan dalam bentuk barang yang terjadi di sana-sini menunjukkan bahwa masih banyak orang yang tidak jujur terhadap diri sendiri maupun orang lain. Celakanya adalah jika orang tersebut berpengaruh di dalam kehidupan bersama, sehingga apa yang dilakukan dapat mencelakakan banyak orang. Warta Gembira hari ini mengingatkan kita semua untuk waspada terhadap aneka pemalsuan dan penyamaran, serta mengenali orang melalui buahnya, yaitu perilaku atau tindakannya yang jujur. Buah yang terbaik adalah yang menyelamatkan jiwa manusia, maka marilah kita lihat dan cemati berbagai macam cara hidup dan cara bertindak orang apakah berbuahkan keselamatan jiwa manusia, dan dari diri kita sendiri hendaknya senantiasa mengusahakan keselamatan jiwa melalui cara hidup dan cara bertindak kita. Warta Gembira hari ini kiranya juga mengingatkan para orang tua maupun pengelola aneka usaha dan pembinaan/pendampingan manusia: kwalitas hasil jerih payah anda akan terlibat dari 'buah'nya, yaitu anak-anak yang anda lahirkan dan didik, para peserta didik/binaan yang anda bina/didik, dst..  Maka pertama-tama saya senantiasa mengingatkan para orangtua, mengingat dan memperhatikan keluarga merupakan dasar hidup bersama: hendaknya para orangtua berusaha mendidik dan membina anak-anaknya agar tumbuh berkembang menjadi pribadi baik, berbudi pekerti luhur, semakin dikasihi oleh Allah dan sesamanya.

·   "Pergilah, mintalah petunjuk TUHAN bagiku, bagi rakyat dan bagi seluruh Yehuda, tentang perkataan kitab yang ditemukan ini, sebab hebat kehangatan murka TUHAN yang bernyala-nyala terhadap kita, oleh karena nenek moyang kita tidak mendengarkan perkataan kitab ini dengan berbuat tepat seperti yang tertulis di dalamnya." (2Raj 22:13), demikian perintah raja kepada para imamnya. Kutipan ini kiranya baik menjadi bahan permenungan atau refleksi bagi siapapun yang bertugas untuk menasihati, mengajar, mendidik, membina, mendampingi dst. dalam bidang kehidupan, pelayanan maupun pendidikan apapun. Secara khusus para imam, katekis atau guru agama kami ingatkan dan ajak: hendaknya dalam memberi kotbah, berkatekese atau mengajar senantiasa memungkinkan dan mempermudah para pendengar semakin menghayati atau melaksanakan perintah-perintah Tuhan antara lain semakin hidup saling mengasihi dan melayani, sehingga kehidupan bersama semakin menarik, mempesona, …semakin dikasihi oleh Tuhan dan semua orang. Demikian juga kami mengingatkan para orangtua: hendaknya dalam mendidik, memberi nasihat dan mengarahkan anak-anak lebih mengutamakan agar anak-anak tumbuh berkembang menjadi manusia baik dan berbudi pekerti luhur, dan tentu saja para orangtua sendiri dapat menjadi contoh atau teladan sebagai orang yang baik dan berbudi pekerti luhur. Dengan kata lain ketika ada ketidak beresan atau kekacauan hidup bersama dimanapun ada kemungkinan ada orang-orang yang kurang baik, kurang beriman, dimana cara hidup atau cara bertindaknya senantiasa mengacau dan merusak kehidupan bersama. Mereka ini adalah orang-orang egois, yang hanya mencari keenakan atau keuntungan diri sendiri, kurang peka terhadap sesamanya. Kami juga mengingatkan kita semua untuk senantiasa mentaati dan melaksanakan aneka aturan atau tatanan hidup bersama, yang tertulis atau terpampang di sana-sini.

 

"Perlihatkanlah kepadaku, ya TUHAN, petunjuk ketetapan-ketetapan-Mu, aku hendak memegangnya sampai saat terakhir. Buatlah aku mengerti, maka aku akan memegang Taurat-Mu; aku hendak memeliharanya dengan segenap hati. Biarlah aku hidup menurut petunjuk perintah-perintah-Mu, sebab aku menyukainya. Condongkanlah hatiku kepada peringatan-peringatan-Mu, dan jangan kepada laba. Lalukanlah mataku dari pada melihat hal yang hampa, hidupkanlah aku dengan jalan-jalan yang Kautunjukkan "

(Mzm 119:33-37)

 

Jakarta, 23 Juni 2010


22 Juni - 2Raj 19: 5b-11.14-21.31-35a.36; Mat 7:6.12-14

"Lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan"

(2Raj 19: 5b-11.14-21.31-35a.36; Mat 7:6.12-14)

 

"Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu." "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi. Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya."(Mat 7:6.12-14), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

 

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

·   Salah satu bentuk 'jalan yang menuju kepada kebinasaan'  adalah hidup dan bertindak mengkuti keinginan sendiri, seenaknya sendiri, sesuai selera pribadi (Jawa:'sak penake dhewe'). Orang bertindak seenaknya tanpa aturan untuk memenuhi gairah nafsunya. Maka Yesus bersabda "Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya".  "Masuk melalui pintu yang sesak" berarti hidup dan melangkah atau bertindak sesuai dengan janji-janji yang pernah kita ikrarkan, misalnya janji baptis, janji perkawinan, janji imamat, kaul, janji pelajar, mahasiswa, pekerja, dst.., yang disertai dengan aneka aturan dan tatanan untuk ditaati dan dilaksanakan. Perkenankan di sini saya mengangkat 'janji perkawinan' dan mengajak para suami-isteri untuk mawas diri dalam penghayatan hidup berkeluarga sebagai suami-isteri. Hendaknya saling setia pada pasangan masing-masing, tidak selingkuh atau menyeleweng, maka suami memiliki 'WIL' dan isteri memiliki 'PIL'. Hidup setia sebagai suami-isteri, saling mengasihi baik dalam untung maupun malang, sehat maupun sakit sampai mati pada masa kini memang sarat dengan tantangan, masalah dan hambatan. Kami percaya bahwa kesetiaan suami-isteri dapat menjadi 'wahana' menuju kehidupan sejati bagi mereka sendiri maupun anak-anak yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada mereka serta kerabat dan kenalannya. Hidup berkeluarga yang baik merupakan dasar hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

·   " Maka sekarang, ya TUHAN, Allah kami, selamatkanlah kiranya kami dari tangannya, supaya segala kerajaan di bumi mengetahui, bahwa hanya Engkau sendirilah Allah, ya TUHAN." (2Raj 19:19), demikian doa Hizkia, yang mengalami atau menghadapi kesesakan hidup. Apa yang dilakukan oleh Hizkia ini kiranya.dapat menjadi teladan bagi kita semua, yaitu ketika menghadapi kesesakan, tantangan, masalah atau hambatan hendaknya tidak mengandalkan kemampuan diri sendiri saja, tetapi ingat akan Tuhan antara dengan berdoa mohon rahmat dan kekuatan dari Tuhan.  Doa merupakan salah satu cirikhas hidup orang beragama atau beriman, maka kami berharap kita tidak pernah melupakan doa dalam hidup, kesibukan dan pelayanan kita setiap hari, tidak hanya ketika sedang menghadapi kesesakan saja. Percayalah, imanilah bahwa kesesakan, tantangan dan masalah yang harus kita hadapi merupakan jalan menuju kebahagiaan atau hidup sejati, maka jangan dihindari tetapi hadapi bersama dengan Tuhan. Tuhan adalah mahasegalanya, maka bersama dan bersatu dengan Tuhan kita akan mampu mengatasi segala kesesakan, tantangan dan masalah. Bersama dan bersatu dengan Tuhan juga berarti bersama dan bersatu dengan sesama atau saudara-saudari kita, maka dalam menghadapi kesesakan, masalah dan tantangan berarti kita tidak boleh sendirian, melainkan bekerjasama dengan saudara-saudari kita. Bekerja sendirian bagaikan 'lidi' yang lepas dari ikatan sapu, dan dengan demikian menjadi sampah dan mengganggu, sebaliknya bekerja bersama bagaikan banyak lidi diikat menjadi sapu lidi dan akan fungsional untuk keselamatan, kebersihan dan keindahan. Memang bekerjasama dengan orang lain pada masa kini sungguh menantang, mengingat dan memperhatikan kecenderungan kita masing-masing untuk bekerja sendiri-sendiri, seenaknya sendiri, semau gue. Ingatlah dan hayatilah bahwa masing-masing dari kita adalah hasil atau buah kerjasama (kerjasama bapak dan ibu kita), maka hanya dalam kerjasama kita dapat tumbuh berkembang dengan baik.

 

"Besarlah TUHAN dan sangat terpuji di kota Allah kita! Gunung-Nya yang kudus, yang menjulang permai, adalah kegirangan bagi seluruh bumi; gunung Sion itu, jauh di sebelah utara, kota Raja Besar. Dalam puri-purinya Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai benteng" (Mzm 48:2-4)

      

Jakarta, 22 Juni 2010


Minggu, 20 Juni 2010

21 Juni - 2Raj 17:5-8.13-15a.18; Mat:1-5)

"Jangan kamu menghakimi supaya kamu tidak dihakimi."

(2Raj 17:5-8.13-15a.18; Mat:1-5)

 

"Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu. Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu." (Mat 7:1-5), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

 

Berrefleksi atas bacaan-bacaan serta mengenangkan pesta St.Aloysius Gonzaga, biarawan, hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

·   Senantiasa berpikiran positif ('positive thinking')  daripada berpikiran negatif ('negative thingking') terhadap sesama atau orang lain, itulah inti Warta Gembira hari ini. Dengan kata lain kita dipanggil untuk bersemangat 'karya penciptaan', yang ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan ke arah yang baik, benar, mulia dan indah. Kami percaya bahwa di dalam diri kita masing-masing lebih banyak apa yang baik daripada yang buruk, benar daripada salah, mulia daripada jorok, indah daripada amburadul. Maka pertama-tama kami harapkan agar kita sendiri senantiasa berpikiran positif terhadap diri kita sendiri, dan dengan demikian kita akan lebih mudah untuk berpikiran positif terhadap orang lain. Kita semua dipanggil untuk mahir atau ahli kebaikan bukan kejahatan alias ahli Roh Kudus, terampil dalam pembedaan roh (spiritual discernment). Maka kami mengajak anda sekalian untuk membiasakan latihan pembedaan roh atau pemeriksaan batin setiap hari (ingat pemeriksaan batin adalah bagian dari doa malam, doa harian). Hari ini kita kenangkan St.Aloysius Gonzaga, Yesuit muda/ biarawan, yang dikenal kerendahan hati, ketaatan dan ketekunan dalam tugas, dan ia menjadi teladan bagi kawan-kawannya. Kerendahan hati, ketaatan dan ketekunan juga merupakan buah atau kasih karunia Roh Kudus, anugerah Allah. Marilah kita mengusahakan dan memperdalam keutamaan kerendahan hati, ketaatan dan ketekunan, serta dengan rendah hati kita lihat dan akui keutamaan-keutamaan tersebut dalam diri saudara-saudari kita.

·   "Berbaliklah kamu dari pada jalan-jalanmu yang jahat itu dan tetaplah ikuti segala perintah dan ketetapan-Ku, sesuai dengan segala undang-undang yang telah Kuperintahkan kepada nenek moyangmu dan yang telah Kusampaikan kepada mereka dengan perantaraan hamba-hamba-Ku, para nabi." (2Raj 17:13), demikian nasihat atau pesan para nabi kepada bangsa terpilih. Pesan atau nasihat ini kiranya juga terarah pada kita semua, maka marilah kita renungkan dan hayati atau laksanakan.  Aneka macam bentuk kejahatan membuat kabur penglihatan mati hati kita, suara hati kita semakin buta dan kita tak mampu membedakan apa yang baik dan buruk. Kita diingatkan untuk setia mengikuti dan melaksanakan perintah-perintah Tuhan, yang antara lain dapat kita lihat dalam berbagai kehendak baik saudara-saudari kita, dalam aneka tatanan dan aturan yang terkait dengan panggilan, tugas pengutusan dan kewajiban kita masing-masing. Pertama-tama marilah kita saling melihat dan mendengarkan kehendak baik kita untuk disinerjikan dan kemudian dihayati bersama-sama. Dalam kehidupan bersama senantiasa ada aturan atau tatanan, entah lisan atau tertulis, yang harus kita taati atau laksanakan. Kami angkat lagi perihal peraturan berlalu lintas di jalanan, dimana dapat kita lihat aneka rambu-rambu lalu lintas. Ketaatan pada rambu-rambu lalu lintas atau kedisiplinan berlalu lintas hemat saya merupkan cermin kehidupan bersama: hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ketaatan dan kedisiplinan ini kami harapkan sedini mungkin dibiasakan atau dididikkan pada anak-anak di dalam keluarga maupun sekolah dengan teladan konkret dari para orangtua maupun para guru/pendidik. Ketaatan utama atau dasar adalah taat kepada kehendak Tuhan, maka kepada mereka yang akrab dan mesra hidup bersama dengan Tuhan selayaknya kehendak, nasihat atau pesannya kita dengarkan dan laksanakan, karena mereka bagaikan nabi-nabi yang diutus oleh Allah untuk mewartakan apa yang baik dan benar.

 

"Ya Allah, Engkau telah membuang kami, menembus pertahanan kami; Engkau telah murka; pulihkanlah kami! Engkau telah menggoncangkan bumi dan membelahnya; perbaikilah retak-retaknya, sebab bumi telah goyang. Engkau telah membuat umat-Mu mengalami penderitaan yang berat, Engkau telah memberi kami minum anggur yang memusingkan." (Mzm 60:3-5)

Jakarta, 21 Juni 2010


Jumat, 18 Juni 2010

20 Juni - Za.12: 10-11; 13:1; Gal 3: 26-29; Luk 9:18-24

"Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku"
Mg Biasa XII: Za.12: 10-11; 13:1; Gal 3: 26-29; Luk 9:18-24


"Jumlah perceraian di Indonesia menunjukkan tren peningkatan. Data terakhir hasil perhitungan Kementrian Agama RI mencatat terjadinya 250 ribu kasus perceraian di Indonesia pada tahun 2009. Angka ini setara dengan 10% dari jumlah pernikahan di tahun 2009 sebanyak 2,5 juta. Jumlah perceraian tersebut naik 50 ribu kasus dibanding tahun 2008 yang mencapai 200 ribu perceraian. "Jumlah perceraian di Indonesia terus menunjukkan peningkatan," tutur Direktur Jenderal Bimbingan Islam Kementerian Agama, Nasaruddin Umar di Jakarta, Kamis (25/2). Pada periode 5-10 tahun lalu, di Indonesia hanya terjadi 20 ribu hingga 50 ribu kasus perceraian per tahun. Fakta lain dari kasus perceraian yang tercatat pun menunjukkan adanya pergeseran bentuk perceraian. Sekitar 70 persen perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama adalah cerai gugat. "Data tersebut juga menunjukkan trend pergeseran kasus cerai di mana istri yang menggugat cerai," tutur Nasaruddin. Meningkatnya angka perceraian ini disebabkan oleh 14 faktor. Di antaranya cerai karena pilkada dan politik, perselingkuhan oleh istri yang angkanya naik drastis, kawin di bawah umur, dan kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan kasus cacat karena kecelakaan sepeda motor juga menjadi salah satu dari 14 faktor penyebab perceraian di Indonesia." (republika.co.id, 26/2/2010). Saya kutipkan berita di atas ini sebagai jalan masuk untuk merenungkan sabda Yesus dalam Warta Gembira hari ini.

"Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya  hari dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya." (Luk 9:23-24)

Pada saat orang berjanji untuk mengakui jati dirinya yang baru, misalnya menjadi suami-isteri, imam, bruder atau suster, dengan saling berjanji atau berjanji kepada Tuhan dan pembesar, pada umumnya bangga dan mantap. Calon suami-isteri berjanji saling mengasihi baik dalam untung maupun malang, sehat maupun sakit sampai mati, imam berjanji untuk hidup tidak menikah dan hanya mau mengabdi Tuhan saja melalui GerejaNya, sedang para anggota Lembaga Hidup Bakti berkaul untuk hidup murni, miskin dan taat. Ketika mengakui atau menyatakan dengan kata-kata sungguh mantap, namun seiring dengan perjalanan waktu apa yang dijanjikan tersebut mengalami erosi, karena orang tidak bersedia untuk `menyangkal diri atau kehilangan nyawanya' .
Setia pada iman dan panggilan memang tidak mudah, sarat dengan godaan, tantangan, masalah dan hambatan. Senjata untuk menghadapi godaan, tantangan, masalah dan hambatan tidak lain adalah `menyangkal diri dan kehilangan nyawa', yang berarti hidup dan bertindak tidak mengikuti keinginan dan selera pribadi, melainkan mengikuti kehendak Ilahi, yang antara lain tercermin dalam aneka aturan dan tatanan yang terkait dengan hidup, panggilan dan tugas pengutusan kita masing-masing atau spiritualitas/charisma/visi pendiri. "Setia adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan keterikatan dan kepedulian atas perjanjian yang telah dibuat" (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur – Balai Pustaka, Jakarta 1997, hal 24). Marilah kita angkat dan kenangkan kembali perjanjian-perjanjian yang telah kita buat! Hendaknya cara hidup dan cara bertindak kita senantiasa ditatapkan pada perjanjian yang telah kita buat, entah janji baptis, perkawinan, imamat, membiara maupun  pekerja atau pelajar.

Kita semua mendambakan keselamatan atau kebahagiaan sejati selama di dunia ini maupun di akhirat nanti. Kami mengajak kita semua untuk saling membantu dan mengingatkan perihal penghayatan atau pelaksanaan janji masing-masing. Pada kesempatan ini kami juga mengingatkan kepada para pakar dalam ilmu atau pengetahuan apapun, hendaknya dengan rendah hati berusaha menghayati apa yang dipelajari dan dikuasainya secara intelektual. Jangan sampai terjadi; mengaku pakar komunikasi tetapi tak komunikatif, mengaku pakar pendidikan tak mampu mendidik, mengaku pakar budi pekerti tak bermoral, dst… Semoga para pekerja sungguh bekerja, para pelajar sungguh belajar, dst…
"Jikalau kamu adalah milik Kristus, maka kamu juga adalah keturunan Abraham dan berhak menerima janji Allah." (Gal 3:29)

Bapa Abraham adalah bapa umat beriman, maka bagi umat beriman tidak ada perbedaan dalam penghayatan hidup sehari-hari, apalagi iman lebih dihayati daripada dibicarakan atau menjadi bahan diskusi. Keunggulan hidup beriman terletak pada penghayatan bukan wacana atau omongan. Sabda Yesus hari ini juga mengingatkan kita semua agar kita `memikul salib kita masing-masing setiap hari', artinya melakukan tugas pekerjaan atau kewajiban kita masing-masing setiap hari sebaik mungkin dan sampai tuntas, selesai atau sukses. Untuk itu kita memang harus siap sedia disalibkan, antara lain dengan mempersembahkan pikiran, tenaga, derap langkah seutuhnya pada tugas pekerjaan maupun kewajiban kita masing-masing, tidak menyeleweng atau berselingkuh.

"Kamu juga adalah keturunan Abraham dan berhak menerima janji Allah", demikian peringatan Paulus kepada umat di Galatia, kepada kita semua umat beriman, keturunan Abraham.  Marilah kita ingat dan kenangkan bahwa bapa Abraham antara lain bertindak tanpa dasar pikiran yang kuat atau tak dapat dimengerti oleh akal sehat, melainkan bertindak atas dasar harapan, sesuatu yang tak kelihatan dan menjanjikan. Memang apa yang menjanjikan dan belum/tak kelihatan pada umumnya menggairahkan hidup dan bertindak seseorang, dengan kata lain orang yang bersangkutan sungguh memiliki dan menghayati keutamaan harapan dalam cara hidup dan cara bertindak. Berharap untuk menjadi kaya pada umumnya orang bekerja keras dan bergairah, berharap bertemu yang terkasih pada umumnya orang gembira dan bergairah, dst.., namun setelah menjadi kaya atau bertemu dengan yang terkasih dapat menjadi lain, mungkin lesu dan tak bergairah lagi.

Janji Allah tidak pernah mengecewakan dan ketika terlaksana tidak akan membuat kita lesu atau tak bergairah, yaitu keselamatan jiwa kita. Maka marilah kita persembahkan pikiran, tenaga dan langkah kita demi keselamatan jiwa kita sendiri maupun sesama atau saudara-saudari kita. Dengan kata lain hendaknya keselamatan jiwa menjadi barometer atau ukuran kesuksesan pelayanan, kerja atau pelaksanaan tugas dan kewajiban kita sendiri maupun bersama-sama. Marilah kita sadari dan hayati bahwa kita mengimani Yesus yang telah mempersembahkan hidupNya dengan wafat di kayu salib demi keselamatan jiwa kita semua, keselamatan seluruh dunia. Ia tidak memikirkan kepentingan pribadi, apalagi mengutamakan diri pribadi. Janji Allah adalah keselamatan jiwa atau hidup mulia selamanya di sorga, dan janji tersebut akan terwujud atau menjadi nyata jika kita siap sedia bekerja sama dengan mempersembahkan diri seutuhnya kepada Allah dalam hidup sehari-hari, senantiasa berusaha hidup suci dan berkenan pada Yang Ilahi.

"Demikianlah aku mau memuji Engkau seumur hidupku dan menaikkan tanganku demi nama-Mu. Seperti dengan lemak dan sumsum jiwaku dikenyangkan, dan dengan bibir yang bersorak-sorai mulutku memuji-muji…. sungguh Engkau telah menjadi pertolonganku, dan dalam naungan sayap-Mu aku bersorak-sorai.  Jiwaku melekat kepada-Mu, tangan kanan-Mu menopang aku "
(Mzm 63:5-6.8-9)    .

Jakarta, 20 Juni 2010




19 Juni - 2Taw 24:17-25; Mat 6:24-34

"Hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian"

(2Taw 24:17-25; Mat 6:24-34)


"Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon." "Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian? Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu? Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya? Dan mengapa kamu kuatir akan pakaian? Perhatikanlah bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan tanpa memintal, namun Aku berkata kepadamu: Salomo dalam segala kemegahannya pun tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu. Jadi jika demikian Allah mendandani rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan terlebih lagi mendandani kamu, hai orang yang kurang percaya? Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari." (Mat 6:24-34), demikian kutipan Warta Gembira hari ini

 

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

·   Hidup, makanan dan pakaian rasanya dapat menjadi symbol hirarki nilai, yaitu: nilai moral, nilai hukum dan nilai sopan santun. Yang paling tinggi dan utama adalah nilai moral, perihal baik atau buruk, maka marilah kita senantiasa mengusahakan diri menjadi pribadi yang baik atau bermoral, orang yang memiliki kebiasan berbuat baik kepada sesamanya. Memang untuk masa kini menjadi pribadi baik atau berbuat baik akan menghadapi kesusahan atau penderitaan, antara lain dapat dicurigai atau dihambat. Jika kita baik dan melakukan apa yang baik, hendaknya tidak kuatir atau takut dalam menghadapi kesusahan atau penderitaan, karena entah penderitaan atau kesusahan merupakan jalan untuk memperdalam dan memperkuat apa yang baik di dalam diri kita. Asal kita baik dan senantiasa berbuat baik kepada orang lain, percayalah kita tak akan berkekurangan dalam hal makanan maupun pakaian, tentu saja tidak perlu yang mewah atau berfoya-foya. Dalam hal makanan dan minuman kami harapkan untuk menyantap makanan dan minuman yang sehat dan bergizi dalam rangka menjaga hidup kita tetap bugar dan segar. Marilah kita imani Allah yang senantiasa mendampingi dan membekali perjalanan hidup dan panggilan kita.

·   "Beginilah firman Allah: Mengapa kamu melanggar perintah-perintah TUHAN, sehingga kamu tidak beruntung? Oleh karena kamu meninggalkan TUHAN, Ia pun meninggalkan kamu!" (2Taw 24:20), demikian kata Zakharia, yang penuh dengan Roh Allah, kepada rakyat. Kutipan ini kiranya baik menjadi permenungan atau refleksi kita. Kita sebagai orang beriman juga sering disebut sebagai umat Allah, artinya umat milik Allah. Hidup kita serta segala sesuatu yang menyertai kita, yang kita miliki dan kuasai sampai saat ini adalah anugerah Allah, maka selayaknya kita tidak pernah melupakan Allah di dalam hidup sehari-hari. Memang jika kita mendambakan hidup sejati pada masa kini maupun di akhirat nanti, kita hendaknya senantiasa melaksanakan kehendak Allah, setia pada janji-janji yang pernah kita ikrarkan. Maka tak henti-hentinya kami mengingatkan pentingnya setia pada janji-janji yang pernah kita ikrarkan, entah itu janji baptis, janji perkawinan, janji imamat, kaul, janji kepegawaian/pelajar, dst.. Sebagai yang telah dibaptis marilah kita senantiasa setia pada janji baptis, dimana kita pernah berjanji untuk hanya mau mengabdi Tuhan saja serta menolak semua godaan setan. Mengabdi Tuhan secara konkret berarti mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan melalui saudara-saudari kita, maka marilah dengan rendah hati kita senantiasa berusaha membahagiakan orang lain dimanapun dan kapanpun, alias menjadi orang baik dan berbudi pekerti luhur. Kami juga berharap kepada kita semua untuk tidak takut dan tidak gentar meneladan Zakharia, yaitu mengingatkan dan menegor saudara-saudari kita yang meninggalkan atau melupakan Tuhan untuk bertobat. Jika kita tidak mengingatkan saudara-saudari kita berarti kita mendukung atau menyetujui mereka.

 

"Jika anak-anaknya meninggalkan Taurat-Ku dan mereka tidak hidup menurut hukum-Ku, jika ketetapan-Ku mereka langgar dan tidak berpegang pada perintah-perintah-Ku, maka Aku akan membalas pelanggaran mereka dengan gada, dan kesalahan mereka dengan pukulan-pukulan. Tetapi kasih setia-Ku tidak akan Kujauhkan dari padanya dan Aku tidak akan berlaku curang dalam hal kesetiaan-Ku." (Mzm 89:31-34)

 

Jakarta, 19 Juni 2010